Pengaruh Kemiskinan Esktrem terhadap Angka Kejadian Stunting di Provinsi Banten

Sumber Gambar :

 

oleh :

Lelih Herawati

(Perencana Muda Bappeda Provinsi Banten)

 

 

 

Pengantar

Kemiskinan ekstrem (KE) merupakan permasalahan global yang mendorong negara-negara didunia menyepakati komitmen pembangunan. Tujuan utama Sustainable Development Goals (SDGs) adalah dapat menghapus secara menyeluruh kemiskinan ekstrem di tahun 2030.1 Pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem secara nasional sekitar 2,14%, kemudian mengalami penurunan menjadi 2,04% per Maret 2022. Diharapkan dapat mencapai target optimis kemiskinan ekstrem 0% atau target moderat maksimal 1% di tahun 2024 sesuai Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.2

Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi dimana kesejahteraan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan ekstrem- setara dengan USD1.9 PPP (purchasing power parity). Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan "absolute poverty measure" yang konsisten antarnegara dan antarwaktu.2 Kemiskinan dianggap menjadi faktor penting penyebab terjadinya stunting pada balita. Rumah tangga yang miskin tidak dapat memenuhi asupan gizi untuk anak nya, sehingga anak tersebut menjadi stunting. Dengan kondisi seperti itu, tumbuh kembang anak menjadi terhambat sehingga menghasilkan SDM yang tidak berkualitas. SDM yang tidak berkualitas tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga terjerat dalam kemiskinan. Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai stunting dan pusaran kemiskinan.3

Permasalahan stunting di Indonesia mendapat perhatian khusus dari Presiden, sehingga diterbitkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Target yang ditetapkan pada tahun 2024, angka prevalensi stunting dapat diturunkan sampai dengan 14%.4,5 Di Indonesia, stunting menjadi fokus dalam percepatan penurunannya serta penanganan dari berbagai sektor karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian, menurunnya perkembangan otak dan motorik, serta terhambatnya pertumbuhan mental.6

Provinsi Banten termasuk lima besar daerah dengan angka stunting tertinggi se-Indonesia dan juga termasuk 12 daerah prioritas, menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2021. Dimana tidak ada satu pun kabupaten/kota yang prevalensinya dibawah 10%.7 Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) disampaikan bahwa angka stunting di Banten 2022 turun sebesar 4,5% (24,5% di tahun 2021 menjadi 20% di tahun 2022). Namun, masih ada 5 kabupaten atau kota dengan prevalensi diatas angka rata-rata balita stunting di Banten.8

 

Pembahasan

            Berdasarkan data SSGBI pada tahun 2021, angka stunting di Banten sebesar 24,5%, dimana tidak ada satu pun kabupaten/kota yang prevalensinya dibawah 10%. Zona kuning ada di Kota Cilegon dan Kota Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang; sedangkan hijau ada di Tangerang Selatan dan Kota Tangerang. Daerah yang masuk zona merah sendiri adalah Kabupaten Pandeglang dengan prevalensi stunting 37,8 persen.7 Pada tahun 2022 turun sebesar 4,5% yaitu menjadi 20%. Namun, masih ada 5 kabupaten atau kota dengan prevalensi diatas angka rata-rata balita stunting di Banten. Kabupaten Pandeglang merupakan wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di banten, mencapai 29,4%. Angka tersebut menurun 8,4% dari tahun sebelumnya yang sebesar 37,8%. Lalu kabupaten Serang menempati peringkat kedua dengan prevalensi balita stunting sebanyak 26,4%. Diikuti kabupaten Lebak sebesar 26,2%, lalu kota Serang 23,8%, dan Kabupaten Tangerang sebesar 21,1%. Tiga kabupaten atau kota sisanya memiliki prevalensi dibawah angka rata-rata prevalensi balita stunting di Banten. Kota Tangerang Selatan memiliki prevalensi balita stunting terendah di Banten, yakni hanya 9%. Kemudian, kota Tangerang sebanyak 11,8%, dan kota Cilegon 19,1%.8

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidak cukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai.6 Menurut Notoatmodjo (2003), faktor-faktor penyebab stunting saling berhubungan satu dengan yang lainnya, seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sosial ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukkan status gizi keluarga tersebut, termasuk mempengaruhi pertumbuhan anak.9

            Kemiskinan adalah indikator ketidakmampuan keluarga dalam mengatasi ekonomi untuk memperoleh kecukupan kebutuhan keluarga. Keluarga yang miskin memiliki kemampuan daya beli rendah sehingga sulit memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan lain-lain. Selain itu kemiskinan juga berdampak pada minimnya akses masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu kemiskinan dianggap menjadi faktor penting penyebab terjadinya stunting pada balita. Rumah tangga yang miskin tidak dapat memenuhi asupan gizi untuk anaknya, sehingga anak berisiko menderita stunting.10

            Tahun 2022 Tingkat Kemiskinan Ekstrem mencapai 1,18 persen menurun 0,32 persen dari tahun 2021 yang mencapai 1,50 persen. Berdasarkan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) tahun 2022 keluarga miskin ekstrem di Provinsi Banten berjumlah 999.402 keluarga dengan 4.109.807 jiwa, jika dikaitkan dengan prevalensi stunting tahun 2022 Provinsi Banten dengan capaian 24 persen, terjadi penurunan signifikan sebanyak 4,5 persen dari realisasi tahun 2021 yang mencapai 24,5 persen.11 Penurunan persentase kemiskinan ekstrim sejalan dengan penurunan stunting, maka dapat diasumsikan bahwa kemiskinan ekstrim dan stunting merupakan suata permasalahan yang saling beririsan.

Ketersediaan kebutuhan rumah tangga dan jenis pangan yang dibeli tergantung dari pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas akan kurang memenuhi kebetuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh.12 Jumlah anggota keluarga juga memengaruhi pola pertumbuhan anak dan balita, jumlah anggota keluarga yang banyak tanpa diimbangi peningkatan pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan yang tidak merata. Karena bisa jadi faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah makanan yang kurang, sehingga asupan gizinya pun kurang. Pola asuh keluarga yang salah seperti membiasakan anak yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak dibandingkan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita.9

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fikrina pada balita usia 24-59 bulan di Desa Karangrejek Wonosari, didapatkan hasil bahwa sebanyak 37 responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 1.235.700 sebagian besar balitanya mengalami stunting yaitu 23 balita (19%) dan yang tidak mengalami stunting sebanyak 14 balita (11,6%). Sedangkan sebanyak 84 responden yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 1.235.700 sebagian besar balitanya tidak mengalami stunting yaitu 60 balita (49,6%) dan sebanyak 24 balita (19,8%) mengalami stunting, (p value = 0,000).  Hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiyogowati, 2012 yang menyatakan bahwa kejadian stunting yang tinggi terdapat pada pendapatan rumah tangga rendah yaitu sebesar 60,7% dan menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian stunting.13

Namun, hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas, dkk., yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan stunting. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa status ekonomi keluarga dengan pendapatan rendah (pendapatan kurang dari Rp4.375.479) memiliki balita stunting sebanyak 23 orang (18,3%) dan balita tidak stunting sebanyak 103 orang (81,7%) dan status ekonomi keluarga dengan pendapatan tinggi memiliki balita stunting 6 orang (17,6%) dan balita tidak stunting sebanyak 28 orang (82,4%), (p value = 1,000). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga tidak memiliki hubungan signifikan dengan status gizi balita stunting. Asumsi dari penelitian ini adalah perilaku orangtua dalam mengelola keuangan keluarga merupakan perilaku yang menentukan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan gizi balita. Salah satu bagian terpenting dari dimensi ekonomi keluarga adalah bagaimana keluarga mampu mengelola pendapatan yang rendah untuk memenuhi gizi balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari & Zelharsandy, 2022 yang menyatakan bahwa lebih dari 50% keluarga dengan pendapatan rendah tidak memiliki balita stunting, hal tersebut dapat disebabkan karena dengan pendapatan yang ada keluarga mampu mengelola makanan bergizi dengan bahan yang sederhana dan murah.14

Dalam sudut pandang ekonomi, stunting juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan. Dalam studi yang dilakukan Sebastian Mary pada tahun 2018, dilakukan observasi pada 74 negara berkembang pada tahun 1984 sampai 2014. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan turunnya GDP (Gross Domestic Products). Kepala BAPPENAS pada tahun 2018 menyatakan bahwa dalam jangka panjang, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Melihat urgensi penanganan stunting bagi kemajuan negara, pada tahun 2019, sebanyak 100 kabupaten/kota menjadi prioritas pemerintah untuk intervensi stunting.15

 

 

Kesimpulan

Stunting merupakan permasalahan yang bukan hanya jadi tanggung jawab satu sektor saja, tetapi seluruh elemen negara wajib melakukan penanggulangan stunting baik pencegahan maupun penanganan dampaknya. Pemerintah Provinsi Banten telah melakukan kebijakan intervensi spesifik berupa pemenuhan dan pemantauan gizi bagi ibu hamil dan balita, pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil serta pelayanan kesehatan lainnya seperti pelayanan imunisasi, begitu juga intervensi sensitif telah dilakukan berupa penanganan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU), bantuan benih dan ikan konsumsi, pengadaan air bersih dan kelayakan sanitasi, serta bantuan lainnya. Namun, kegiatan tersebut akan terlaksana dengan baik jika seluruh lapisan masyarakat juga ikut aktif berpartisipasi. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu mengarahkan masyarakat untuk ikut aktif dalam mengawal gizi ibu dan bayi agar dapat menekan stunting. Dengan demikian diharapkan angka stunting nasional dan khusunya di Provinsi Banten, angka kurang gizi, serta angka kematian ibu dan bayi dapat menurun.

 

Rekomendasi

  1. Penguatan sarana pelayanan kesehatan untuk deteksi dini status gizi seperti antropometri di seluruh Posyandu dalam rangka eteksi dini dan pencegahan gizi buruk ;
  2. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi, balita, dan remaja putri;  
  3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam pemberian asupan makanan bergizi;
  4. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan pendekatan dari multisektor dan multidisiplin seperti akademisi, pelaku usaha, media dan komunitas dalam percepatan penurunan stunting dan pengentasan kemiskinan ekstrem;
  5. Perlu diadakannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orangtua terhadap kejadian stunting pada balita di Provinsi Banten.

 

 

Daftar Pustaka

1.Nirmalasari NO. Stunting Pada Anak: Penyebab Dan Faktor Risiko Stunting di Indonesia. Qawwam, 2020; 14(1): 19-28.

2.TNP2K. Target for Eliminating Extreme Poverty by 2024: Ambitious, But Not Impossible. https://www.tnp2k.go.id/articles/target-for-eliminating-extreme-poverty-by-2024-ambitious-but-not-impossible. Diakses pada tanggal 26 Juni 2023.

3.Portal Informasi Indonesia. Mempercepat Pemberantasan Kemiskinan Ekstrem di Indonesia.https://indonesia.go.id/kategori/editorial/5074/mempercepat-pemberantasan-kemiskinan-ekstrem-di-indonesia. Diakses pada tanggal 12 Juni 2023.

 

4.Candarmaweni, Rahayu AYS. Tantangan Pencegahan Stunting Pada Era Adaptasi Baru “New Normal” Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Pandeglang. JKKI, 2020; 9(3): 136-46.

5. Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Badan Pemeriksa Keuangan. Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/174964/perpres-no-72-tahun-2021. Diakses pada tanggal 10 Juli 2023.

 

6.Novita Agustina. Apa itu Stunting. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1516/apa-itu-stunting. Diakses pada tanggal 26 Juni 2023.

 

7.Bahtiar Rifai. 294.862 Balita di Banten Alami Stunting, Terbanyak Ada di Pandeglang. https://news.detik.com/berita/d-5971929/294862-balita-di-banten-alami-stunting-terbanyak-ada-di-pandeglang. Diakses pada tanggal 26 Juni 2023.

 

8.Annur CM. Prevalensi Balita Stunting Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota (2022). databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/02/kabupaten-pandeglang-miliki-prevalensi-balita-stunting-tertinggi-di-banten-pada-2022. Diakses pada tanggal 5 Juli 2023.

 

9.Wahyudi, Kuswati A, Sumedi T. Hubungan Pendapatan Keluarga, Jumlah Anggota Keluarga, Terhadap Stanting Pada Balita Umur 24-59 Bulan: A Literatur Review. Jurnal of Bionursing, 2022; 4(1): 63-9.

 

10.Salmiah. Kontribusi Program Keluarga Harapan (PKH) dalam Pencegahan Stunting di Indonesia.http://ppid.sambas.go.id/kontribusi-keluarga-harapan-dalam mengatasi stunting /. Diakses pada tanggal 29 Juni 2023.

 

11.Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Layanan Data P3KE. https://p3ke.kemenkopmk.go.id/sebaran. Diakses pada tanggal 10 Juli 2023.

 

12.Andrani M, Wirjatmadi. Pengantar Gizi Masyarakat. 2014. Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri.

 

13.Fikrina LT. Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Desa Karangrejek Wonosari Gunung Kidul. Laporan Hasil Universitas Aisyiyah Yogyakarta, 2017.

 

14.Ayuningtyas H, Milati ZS, Fadilah AL, Nadhiroh SR. Status Ekonomi Keluarga dan Kecukupan Gizi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota Surabaya. Media Gizi Indonesia (National Nutrition Journal), 2022; (1): 145–152.

 

15.Rised. Stunting Ancaman Bagi Ekonomi Indonesia. https://rised.or.id/stunting-ancaman-bagi-ekonomi-indonesia/. Diakses pada tanggal 3 Juli 2023.


Share this Post